*Fatimah Almukarromah
Ditengah
keheningan, kira-kira pukul sepuluh malam. Dibawah naungan atap kamar lantai
dua, seorang gadis duduk termenung menatap lembar kosong dihadapannya. Ia
sedang berusaha berkonsentrasi dan berusaha mengisi lembar kosong tersebut.
Namun, usahanya untuk berkonsentrasi selalu gagal karena bayangan akan masa
lalu seperti diputar berulang-ulang di kepalanya. Seakan ada sebuah layar besar
dihadapannya yang memutar kejadian demi kejadian yang menjadi masa lalu yang
indah sekaligus menyakitkan. Seketika itu air matanya mengalir setetes demi
setetes.
Delapan tahun yang lalu,..
Seorang
anak sedang berpamitan dengan sang Ibunda untuk pergi ke sekolah. Ia kini duduk
di bangku sd kelas 3. Ia pergi ke sekolah bersama teman-temannya dengan
berjalan kaki karena, jarak rumah-sekolah tidak terlalu jauh. Ia dan
teman-temannya bernyanyi dan tertawa ceria dalam perjalanan ke sekolah. Sampailah
mereka di sekolah dengan didepannya terdapat spanduk besar bertuliskan “MI
Masyarikul Anwar”.
Malamnya
Ia bertadarus bersama teman-temannya di TPA. Sepulang dari TPA Ia bergegas
mencuci kaki,tangan, dan menggosok gigi. Sebelum tidur Ia dan ibunya melakukan
rutinitas keluarga kecilnya yaitu mengahafal juz ‘amma bersama-sama. Hari ini melanjutkan hafalan kemarin yaitu surah
As-Syams ayat 11. “Bismillahirrahmaanirrahiim,..”, terdengarlah lantunan ayat
suci Al-Qur’an yang diulang berkaki-kali. Setelah selesai menghafal, Ia memeluk
sang Ibunda dan membaca do’a untuk segera tidur. Dalam do’anya Ia berharap
mimpi buruknya takkan pernah terwujud. Bahkan terkadang Ia terbangun di tengah
malam demi memandang wajah cantik sang Ibunda. Terbayang olehnya masa-masa
menyenangkan bersama sang Ibunda dan berharap masa itu dapat terulang kembali.
“el”, ucapnya
“r
sayang, coba ulangi lagi”, jawab sang bunda gemas
“el,
el, elllll, susah umi” ucapnya dengan lebih menggemaskan
“Baiklah
sini anak umi peluk dulu, susah ya? Meskipun susah anak shaleha umi harus berusaha,
agar menjadi anak yang pintar”, jawab sang bunda sambil memeluknya.
Bahkan
terkadang ketika sedang mengingat masa-masa indah itu Ia menangis sampai
tertidur dengan sendirinya. Rasanya sang Ibunda bukanlah yang dahulu Ia kenal,
kini sang Ibunda lebih pendiam. Dulu, Ia selalu melihat senyum Ibunya yang
begitu menghangatkan. Ia sangat senang melihat senyum Ibunya, dunia terasa
saangat indah. Saat ini Ia tak melihat senyuman itu lagi. Senyuman itu telah
lama hilang. Sebenarnya Ia telah merasakan keanehan pada diri sang ibunda.
Seperti ruh Ibunya hanya hadir disaat-saat tertentu. Di waktu yang lain Ibunya
seperti berada di tempat lain. Bahkan pernah suatu saat sang Ibunda tiba-tiba
bertanya dengan suara seperti seorang monster besar “siapa kamu?”, saat itu Ia
merasa sangat ketakutan, Ia menjawab sambil menangis “ini anak imi, umi sadar
umi, kenapa suara umi aneh?”. Saat itu Ia masih sangat lugu sehingga tidak tahu
bahwa sebenarnya Ibunya sedang benar-benar berada di tempat lain. Dan dalam
diri Ibunya bukanlah Ibunya.
Paginya
Ia terbangun dan melihat di sebelahnya tidak ada sang Ibunda. Padahal subuh
tadi, Ia dan Ibunya shalat subuh berjama’ah. Setelah shalat Ia memutuskan untuk
tidur kembali karna hari ini merupakan hari Minggu dan libur sekolah. Dan
rasanya Ia akan menyesal karna telah tidur kembali. Saat keluar kamar mencari
sang Ibunda, Ia heran melihat banyak sanak saudara di rumahnya. Sepertinya
mereka enggan membangunkannya karna tidurnya yang nyenyak. Dan Iapun diberitahu
oleh tantenya yang biasa Ia panggil ‘mama’ bahwa ibunya sudah dibawa ke rumah
sakit karena, penyakit sang ibunda kambuh.
Saat
itu juga Ia merasakan ketakutan yang mendalam, Ia menangis dalam pelukan
‘mama’nya. Ia sudah berkali-kali meminta diantar ke rumah sakit namun, selalu
dicegah oleh keluarga besarnya. Dengan
alasan Ia masih terlalu kecil sehingga keluarganya takut Ia tak sanggup jika Ia
harus menghadapi keadaan yang tak diinginkan. Padahal Ia sangat ingin bertemu
dengan sang ibunda karena Ia takut hari ini merupakan pertemuan terakhirnya. Ia
berdo’a dalam hati berharap tak terjadi apa-apa dengan ibunya.
Namun
takdir berkata lain, siangnya sekitar pukul 1 siang Allah telah mengambil sang
ibunda. Ketakutan yang selama ini Ia khawatirkan, mimpi-mimpi buruk yang
Ia alami menjadi kenyataan. Ia bahkan
tak sempat melihat wajah Ibunya untuk yang terakhir kalinya. Ia diberitahu
lewat telepon oleh sang Nenek yang ada di rumah sakit. Ia merasa sangat
terpukul atas kehilangan yang kedua ini, setelah ayahnya saat Ia berusia 4 tahun.
Tetesan air matanya itu perlahan
membanjiri kertas dibawahnya dan membuat kertas tersebut tidak seputih awalnya.
Saat itu hatinya berteriak “jangan menangis! Kamu sudah berjanji takkan
menangis lagi, karna menangis hanya akan membuat ibumu sedih!”.
Ia
teringat kata-kata Ibunya dulu “anak shalihat umi kalau nanti umi pergi, anak umi
harus ikhlas, gaboleh nangis,oke?”, yang saat itu dengan polosnya Ia menjawab “memangnya
umi mau pergi kemana?kenapa umi tidak mengajak aku?”. Dan ibunya hanya menjawab
dengan senyuman yang membuatnya penasaran sampai sebelum sang Ibunda
benar-benar pergi.
Namun
kini, Ia telah mengetahui maksud sang Ibunda. Iapun akhirnya tersenyum dan
menghapus air matanya. Ia mencuci mukanya lalu mengambil kertas baru dan mulai
menuliskan puisi sebagai curahan hatinya saat ini terhadap sang Ibunda. Dalam
puisinya Ia bercerita akan masa lalu indah yang kini tak dapat terulang
kembali. Ia bercerita mengenai kerinduan yang mendalam terhadap sang Ibunda. Mengenai rasa
terimakasih yang belum sempat terucap dan keinginannya untuk membahagiakan sang
Ibunda. Ia berjanji takkan pernah mengecewakan sang Ibunda dan akan membuat
sang Ibunda tersenyum bahagia di syurga, meskipun Ia tak dapat melihat senyuman
itu.
Setelah
selesai menulis puisi Iapun berdo’a untuk sang Ibunda dan tertidur dengan
nyenyaknya. Dimimpinya Ia melihat sang Ibunda tersenyum padanya dan Ia berlari
menghampiri sang Ibunda namun, tiba-tiba semuanya berubah menjadi putih.
--------------------------------------------------------Tamat---------------------------------------------
*Cerpen ini berdasarkan kisah nyata
penulis
Fatimah Al Mukarromah, saat ini duduk di kelas XB SMA Islam Sinar Cendekia, teman-temannya biasa memanggil AL atau Aale. Siswa yang hoby baca, nulis diary, traveling dan makan ini lahir di Sidempuan, 21 April 2000. Bercita-cita menjadi ustadzah, pengusaha, dosen, ilmuan, penemu,
pendiri sekolah relawan Palestina, motivator.
0 komentar:
Posting Komentar