Rabu, 07 Oktober 2015

Jika Takdir Berkata Lain

*Fatimah Almukarromah

Ditengah keheningan, kira-kira pukul sepuluh malam. Dibawah naungan atap kamar lantai dua, seorang gadis duduk termenung menatap lembar kosong dihadapannya. Ia sedang berusaha berkonsentrasi dan berusaha mengisi lembar kosong tersebut. Namun, usahanya untuk berkonsentrasi selalu gagal karena bayangan akan masa lalu seperti diputar berulang-ulang di kepalanya. Seakan ada sebuah layar besar dihadapannya yang memutar kejadian demi kejadian yang menjadi masa lalu yang indah sekaligus menyakitkan. Seketika itu air matanya mengalir setetes demi setetes.

Delapan tahun yang lalu,..

            Seorang anak sedang berpamitan dengan sang Ibunda untuk pergi ke sekolah. Ia kini duduk di bangku sd kelas 3. Ia pergi ke sekolah bersama teman-temannya dengan berjalan kaki karena, jarak rumah-sekolah tidak terlalu jauh. Ia dan teman-temannya bernyanyi dan tertawa ceria dalam perjalanan ke sekolah. Sampailah mereka di sekolah dengan didepannya terdapat spanduk besar bertuliskan “MI Masyarikul Anwar”.
            Malamnya Ia bertadarus bersama teman-temannya di TPA. Sepulang dari TPA Ia bergegas mencuci kaki,tangan, dan menggosok gigi. Sebelum tidur Ia dan ibunya melakukan rutinitas keluarga kecilnya yaitu mengahafal juz ‘amma bersama-sama. Hari ini melanjutkan hafalan kemarin yaitu surah As-Syams ayat 11. “Bismillahirrahmaanirrahiim,..”, terdengarlah lantunan ayat suci Al-Qur’an yang diulang berkaki-kali. Setelah selesai menghafal, Ia memeluk sang Ibunda dan membaca do’a untuk segera tidur. Dalam do’anya Ia berharap mimpi buruknya takkan pernah terwujud. Bahkan terkadang Ia terbangun di tengah malam demi memandang wajah cantik sang Ibunda. Terbayang olehnya masa-masa menyenangkan bersama sang Ibunda dan berharap masa itu dapat terulang kembali.
            “el”,  ucapnya
            “r sayang, coba ulangi lagi”, jawab sang bunda gemas
            “el, el, elllll, susah umi” ucapnya dengan lebih menggemaskan
            “Baiklah sini anak umi peluk dulu, susah ya? Meskipun susah anak shaleha umi harus berusaha, agar menjadi anak yang pintar”, jawab sang bunda sambil memeluknya.
            Bahkan terkadang ketika sedang mengingat masa-masa indah itu Ia menangis sampai tertidur dengan sendirinya. Rasanya sang Ibunda bukanlah yang dahulu Ia kenal, kini sang Ibunda lebih pendiam. Dulu, Ia selalu melihat senyum Ibunya yang begitu menghangatkan. Ia sangat senang melihat senyum Ibunya, dunia terasa saangat indah. Saat ini Ia tak melihat senyuman itu lagi. Senyuman itu telah lama hilang. Sebenarnya Ia telah merasakan keanehan pada diri sang ibunda. Seperti ruh Ibunya hanya hadir disaat-saat tertentu. Di waktu yang lain Ibunya seperti berada di tempat lain. Bahkan pernah suatu saat sang Ibunda tiba-tiba bertanya dengan suara seperti seorang monster besar “siapa kamu?”, saat itu Ia merasa sangat ketakutan, Ia menjawab sambil menangis “ini anak imi, umi sadar umi, kenapa suara umi aneh?”. Saat itu Ia masih sangat lugu sehingga tidak tahu bahwa sebenarnya Ibunya sedang benar-benar berada di tempat lain. Dan dalam diri Ibunya bukanlah Ibunya.
            Paginya Ia terbangun dan melihat di sebelahnya tidak ada sang Ibunda. Padahal subuh tadi, Ia dan Ibunya shalat subuh berjama’ah. Setelah shalat Ia memutuskan untuk tidur kembali karna hari ini merupakan hari Minggu dan libur sekolah. Dan rasanya Ia akan menyesal karna telah tidur kembali. Saat keluar kamar mencari sang Ibunda, Ia heran melihat banyak sanak saudara di rumahnya. Sepertinya mereka enggan membangunkannya karna tidurnya yang nyenyak. Dan Iapun diberitahu oleh tantenya yang biasa Ia panggil ‘mama’ bahwa ibunya sudah dibawa ke rumah sakit karena, penyakit sang ibunda kambuh.
            Saat itu juga Ia merasakan ketakutan yang mendalam, Ia menangis dalam pelukan ‘mama’nya. Ia sudah berkali-kali meminta diantar ke rumah sakit namun, selalu dicegah oleh keluarga besarnya.  Dengan alasan Ia masih terlalu kecil sehingga keluarganya takut Ia tak sanggup jika Ia harus menghadapi keadaan yang tak diinginkan. Padahal Ia sangat ingin bertemu dengan sang ibunda karena Ia takut hari ini merupakan pertemuan terakhirnya. Ia berdo’a dalam hati berharap tak terjadi apa-apa dengan ibunya.
            Namun takdir berkata lain, siangnya sekitar pukul 1 siang Allah telah mengambil sang ibunda. Ketakutan yang selama ini Ia khawatirkan, mimpi-mimpi buruk yang Ia  alami menjadi kenyataan. Ia bahkan tak sempat melihat wajah Ibunya untuk yang terakhir kalinya. Ia diberitahu lewat telepon oleh sang Nenek yang ada di rumah sakit. Ia merasa sangat terpukul atas kehilangan yang kedua ini, setelah ayahnya saat Ia berusia 4 tahun.
Tetesan air matanya itu perlahan membanjiri kertas dibawahnya dan membuat kertas tersebut tidak seputih awalnya. Saat itu hatinya berteriak “jangan menangis! Kamu sudah berjanji takkan menangis lagi, karna menangis hanya akan membuat ibumu sedih!”.
            Ia teringat kata-kata Ibunya dulu “anak shalihat umi kalau nanti umi pergi, anak umi harus ikhlas, gaboleh nangis,oke?”, yang saat itu dengan polosnya Ia menjawab “memangnya umi mau pergi kemana?kenapa umi tidak mengajak aku?”. Dan ibunya hanya menjawab dengan senyuman yang membuatnya penasaran sampai sebelum sang Ibunda benar-benar pergi.
Namun kini, Ia telah mengetahui maksud sang Ibunda. Iapun akhirnya tersenyum dan menghapus air matanya. Ia mencuci mukanya lalu mengambil kertas baru dan mulai menuliskan puisi sebagai curahan hatinya saat ini terhadap sang Ibunda. Dalam puisinya Ia bercerita akan masa lalu indah yang kini tak dapat terulang kembali. Ia bercerita mengenai kerinduan yang mendalam  terhadap sang Ibunda. Mengenai rasa terimakasih yang belum sempat terucap dan keinginannya untuk membahagiakan sang Ibunda. Ia berjanji takkan pernah mengecewakan sang Ibunda dan akan membuat sang Ibunda tersenyum bahagia di syurga, meskipun Ia tak dapat melihat senyuman itu.
Setelah selesai menulis puisi Iapun berdo’a untuk sang Ibunda dan tertidur dengan nyenyaknya. Dimimpinya Ia melihat sang Ibunda tersenyum padanya dan Ia berlari menghampiri sang Ibunda namun, tiba-tiba semuanya berubah menjadi putih.




--------------------------------------------------------Tamat---------------------------------------------



*Cerpen ini berdasarkan kisah nyata penulis
Fatimah Al Mukarromah, saat ini duduk di kelas XB SMA Islam Sinar Cendekia, teman-temannya biasa memanggil AL atau Aale. Siswa yang hoby baca, nulis diary, traveling dan makan ini lahir di Sidempuan, 21 April 2000. Bercita-cita menjadi ustadzah, pengusaha, dosen, ilmuan, penemu, pendiri sekolah relawan Palestina, motivator.


Tagged:

0 komentar:

Posting Komentar